Senin, 27 April 2015

Pelayan yang Mulia

oleh: Gusphur

Anda bebas mengartikan judul ini. Frasa “yang mulia” boleh dimaknai sebagai kata ganti. Misalnya raja, presiden, direktur, bahkan Tuhan. Dengan demikian judul ini dapat dimaknai bahwa pelayan tersebut bekerja atau berstatus di bawah pemilik kata ganti dimaksud (yakni Yang Mulia).
Arti lainnya boleh juga kita ambil. Yakni, yang memiliki sifat “mulia” adalah pelayan tersebut. Disini, si pelayan patut dimuliakan karena dia mulia. Apakah bisa? Jawabannya, tidak ada yang tidak mungkin selama kita berpikir bisa.
Hakikatnya, siapapun ingin bersanding dengan sebutan ‘mulia’.   Apa sih maknanya? Berdasarkan kamus Indonesia, kata ‘mulia’ bisa diartikan untuk kedudukan, harkat, martabat. Mulia sama dengan tertinggi, terhormat.
Dalam hal budi atau hati, mulia berarti juga dengan luhur, baik, bagus. Misalnya, “Dia sangat mulia hatinya.” Selanjutnya, dalam hal logam, kata mulia diartikan sebagai bermutu tinggi, berharga. Oleh sebab itu, emas dan perak, sering disebut sebagai logam mulia.

Kita adalah Pelayan

            Mari kita dalami noun (kata benda) ini, ‘pelayan’. Makna kamus menjelaskan pelayan sebagai orang yang melayani atau pembantu atau pesuruh. Siapapun yang hidup bersama orang atau makhluk lain pasti saling membutuhkan. Majikan butuh dilayani, pelayan butuh mendapatkan upah. Disini berarti majikan berarti harus melayani upah bagi pembantu atau pelannya. Jadi, timbal balik donk?
            Itulah makna kehidupan. Kita tidak mungkin hidup sendiri. Bahkan dalam kesendirian di tempat sepi pun kita butuh layanan udara untuk bernafas dari alam. Lantas siapa pemilik dan penguasa alam keseluruhan ini? Semua penganut agama pasti menjawabnya, ‘Tuhan”.
Tuhan telah memberikan semuanya untuk kita. Akhirnya kita bisa hidup. Sebagai wakil Tuhan di bumi ini, kita harus memberikan pelayanan yang baik agar yang dilayani puas dan terpenuhi hajatnya. Sebagaimana hukum timbal balik yang disebut di atas, intinya kita semua adalah pelayan. Presiden melayani kepentingan bangsa sesuai amanat yang diembannya. Demikian juga, segenap anggota DPR, MPR, MA, MK, dan semuanya. Bahkan dalam hidup berkeluarga, semua anggota keluarga adalah saling menjadi pelayan. Isteri melayani suami, suami melayani isteri. Anak melayani permintaan orang tua. Orang tua melayani kebutuhan anak-anaknya.

Ciri Orang Mulia

Adalah wajar apabila kita ingin mulia. Ukurannya bagaimana? Kriteria mengukur kemuliaan harus dikembalikan pada hakikat maknanya. Wujud  fisik sulit dijadikan barometer. Misalnya,  anggota Lembaga Agung XYZ. Karena dia berdasi putih atau berjas menarik. Tidak bisa langsung di-justice dia orang mulia. Kalau terjadi dia korupsi. Atau mungkin dia berselingkuh. Mungkin tidak ada orang tahu. Padahal, yang dia lakukan adalah kebalikan dari sifat dan pekerjaan mulia. Jadi, ukuran kemuliaan bukan dari yang terlihat, tetapi dari yang abstrak. Itulah ‘hati’. Orang berbuat mulia karena dia melakukan starting (baca: niat)-nya dengan hati yang mulia.
Kedua, orang mulia senantiasa memberi. Lihat saja, orang yang bermental kebalikan dari suka memberi. Mentalitas pengemis, adalah suka merendahkan dirinya agar dikasihani. Padahal, kita diciptakan oleh-Nya dalam dukungan layanan alam yang lengkap. Kalau orang mulia bisa merasakan karunia Tuhan yang diterimanya. Kemudian dengan hati yang mulia dia berikan juga kepada sesamanya. Sekali lagi, tidak harus memberi dengan barang konkret. Senyum, empati, tenaga semua ini tidak bias diukur dengan uang atau material. Tetapi, orang lebih senang diberi senyuman daripada dicibir dengan kemurungan.
            Kriteria orang mulia berikutnya adalah bertindak cerdas. Maksudnya adalah memberikan nilai plus atau faktor lebih pada setiap tindakan hati dan perbuatannya. Misalnya, kita difitnah sana-sini, padahal tidak ada sedikitpun fitnah itu yang benar. Maka, orang yang mulia hatinya menganggap fitnah itu sebagai ujian untuk dirinya agar senantiasa bertindak dengan hati-hati. Pelayan yang berhati mulia akan mengambil setiap kejadian sebagai pelajaran dan hikmah. Jadi, buat apa menumpuk segala hal negatif kalau kita mampu mengambil yang positif. Cerdas kan ?
            Kehidupan dalam segala sektor pasti ada momen memberi dan menerima. Orang yang mulia mau menerima segala pemberian dengan terbuka. Lain halnya orang yang tidak mulia. Dia menerima dengan perhitungan. Kalau tidak menyenangkan dia akan menolak. Kalau menguntungkan dia akan merebut. Kebalikannya, bagi orang yang mulia hatinya terlihat saat dia menerima pemberian. Kalau ada penerimaan yang tidak memuaskan, dia akan bersyukur bahwa itulah rezeki Tuhan melalui jalan (atau makhluk sesamanya). Kalau ada pemberian yang salah, dia akan mengembalikan dan mengingatkan untuk mengembalikan pada yang benar. Contoh kecil, apabila ada uang suap diantar pada orang mulia. Maka, yang mulia akan menolak dengan baik dan mengingatkan kepada kebenaran.
            Satu lagi kriteria orang mulia adalah terpercaya. Dengan hati yang bersih, orang yang mulia tidak suka mencari kesalahan orang lain. Apapun yang terjadi dalam kehidupan dia melakukan sepenuh hati. Hal ini didasari oleh rasa percaya pada sesama yang harus dilayaninya. Tidak ada buruk sangka apalagi menuduh tanpa dasar. Orang mulia menyadari bahwa hidup adalah memberi manfaat tanpa syarat. Demikian juga, orang  mulia menyadari dirinya berarti kalau dia memberikan arti bagi kehidupan. Itulah sebabnya orang mulia tidak bosan mencari dan member arti bagi kehidupan. Itu dipercaya oleh lingkungannya karena orang mulia konsisten pada kepercayaan dirinya.

Proses Menjadi Mulia

Menjadi mulia adalah baik. Tetapi lebih baik lagi kalau kita tidak merisaukan ke-‘mulia’-an ini. Artinya ? Urusan mulia atau tidak mulia adalah persepsi yang datangnya dari luar diri. Jadi, mau disebut orang mulia atau orang jahat. Maka, orang mulia tidak akan goyah oleh pujian. Kenapa bisa begini ? Karena  orang mulia sudah melatih dirinya untuk menghilangkan kesombongan diri. Sebab mental sombong ini bisa menutup hati untuk menerima kebaikan. Apapun kebaikan kalau dinilai oleh orang yang sombong pasti diturunkan nilai kebaikannya.
            Kalau kita ingin mendapatkan kemuliaan, satu lagi proses yang harus dilalui. Kita harus mau berubah. Apapun promosi dan bujukan yang baik menurut Anda, tidak mesti baik juga menurut orang lain. Lantas, proses kedua ini juga masih bersangkutan dengan hati. Tekad dan kemauan untuk berubah layaknya jalan bagi setiap tujuan. Kalau jalan sudah tidak disediakan, bagaimana mungkin tujuan bias tercapai. Konsep yang lebih ampuh lagi apabila kita senantiasa bermohon kekuatan pada-Nya. Dengan hidayah dan petunjuk-Nya, insya Allah kemauan kita makin kuat untuk meraih kemuliaan.
Berikutnya adalah proses untuk memilih dan menentukan. Kita mau dalam golongan mulia atau tersesat, tergantung bagaimana kita membaca ukurannya. Kalau ukuran kemuliaan hanya dunia atau finansial belaka, maka mereka membaca kemuliaan dengan ukuran itu juga. Lain halnya apabila kita membaca kemuliaan dengan harga ‘hakiki’ kemuliaan. Kemuliaan tidak berhenti seumur manusia di dunia saja. Bagi orang yang beriman, kemuliaan ‘hakiki’ apabila Tuhan juga memuliakan kita kelak di surga-Nya. Jadi, jangan luput untuk membaca semua perintah dan larangan-Nya. Laksanakan semua perintah dan jauhi semua larangan-Nya.
Proses selanjutnya cukup terjal untuk ‘pendakian’ puncak kemuliaan. Dalam kehidupan ini kebaikan dan keburukan saling bersama. Bahkan kebaikan dan kejahatan saling berlomba mempengaruhi kehidupan manusia. Kalau kita sudah membaca dan tahu pada jalan menuju kemuliaan, tetaplah teguh pada keyakinan ini. Jangan goyah oleh aneka pengaruh yang menyesatkan. Baik pengaruh yang secara nyata datang, maupun pengaruh yang secara samar mengelabui jalan menuju kemuliaan. Ingat, pengaruh itu bisa datang dari luar komunitas kita. Bahkan tidak jarang pengaruh yang datangnya dari dalam diri dan komunitas kita sendiri.
Proses ke puncak kemuliaan kita lakukan dengan menikmati segala ujian. Perjalanan meraih tujuan layaknya seni untuk mengatasi setiap halangan yang menghadang. Cobaan, ujian, aral atau apapun nama sejenisnya adalah alat untuk mengukur kompetensi kita dalam kehidupan. Jangan biarkan diri kita ditumpangi oleh berbagai masalah dan cobaan. Kita harus bisa menikmati masalah itu sebagai materi uji yang harus dijawab dengan benar.  Itulah sebabnya kita tidak perlu gelisah saat menghadapi masalah. Justru dengan ujian itulah kita bias menikmati arti kehidupan. Nikmat kan ? Jangan dijawab dengan kata. Jawablah dengan hati.
            Kesimpulannya, dari awal hingga akhir. Hakikatnya kita adalah pelayan. Pelayan kehidupan diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yang mulia dan tersesat. Mudah-mudahan kita bisa melakukan proses menjadi pelayan yang mulia. Karena pilihan satu lainnya banyak orang menjawabnya secara lesan dengan kata ‘Tidak Mau”. Padahal untuk menjadi pelayan yang mulia, cukup ditenamkan di ‘hati’. Sekali lagi, ‘hati’ harus berteriak “Aku mau menjadi pelayan yang mulia”. Pertanyaan lagi, dimana? Di dunia dan di akhirat. Bersama hidayah dan ridha-Nya. Aamiin.

Fatchur Rochman (Gusphur: nama pena) adalah Pustakawan Ahli pada Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Jember. Penulis dapat dihubungi untuk konfirmasi JADWAL SEMINAR ’14 Jurus Masa Depan: Teori Penanaman Karakter Membaca sejak Masa Janin’, via email : fatchur45@gmail.com atau kontak/sms : 087712986857; 082131818227.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar