oleh: Gusphur
Anda bebas mengartikan judul
ini. Frasa “yang mulia” boleh dimaknai sebagai kata ganti. Misalnya raja,
presiden, direktur, bahkan Tuhan. Dengan demikian judul ini dapat dimaknai bahwa
pelayan tersebut bekerja atau berstatus di
bawah pemilik kata ganti dimaksud (yakni Yang Mulia).
Arti lainnya boleh juga kita
ambil. Yakni, yang memiliki sifat “mulia” adalah pelayan tersebut. Disini, si pelayan
patut dimuliakan karena dia mulia. Apakah bisa? Jawabannya, tidak ada yang
tidak mungkin selama kita berpikir bisa.
Hakikatnya, siapapun ingin
bersanding dengan sebutan ‘mulia’. Apa sih maknanya? Berdasarkan kamus
Indonesia, kata ‘mulia’ bisa diartikan untuk kedudukan, harkat, martabat. Mulia
sama dengan tertinggi, terhormat.
Dalam hal budi atau hati,
mulia berarti juga dengan luhur, baik, bagus. Misalnya, “Dia sangat mulia
hatinya.” Selanjutnya, dalam hal logam, kata mulia diartikan sebagai bermutu
tinggi, berharga. Oleh sebab itu, emas dan perak, sering disebut sebagai logam
mulia.
Kita
adalah Pelayan
Mari
kita dalami noun (kata benda) ini,
‘pelayan’. Makna kamus menjelaskan pelayan sebagai orang yang melayani atau
pembantu atau pesuruh. Siapapun yang hidup bersama orang atau makhluk lain
pasti saling membutuhkan. Majikan butuh dilayani, pelayan butuh mendapatkan upah.
Disini berarti majikan berarti harus melayani upah bagi pembantu atau pelannya.
Jadi, timbal balik donk?
Itulah
makna kehidupan. Kita tidak mungkin hidup sendiri. Bahkan dalam kesendirian di
tempat sepi pun kita butuh layanan udara untuk bernafas dari alam. Lantas siapa
pemilik dan penguasa alam keseluruhan ini? Semua penganut agama pasti
menjawabnya, ‘Tuhan”.
Tuhan telah memberikan
semuanya untuk kita. Akhirnya kita bisa hidup. Sebagai wakil Tuhan di bumi ini,
kita harus memberikan pelayanan yang baik agar yang dilayani puas dan terpenuhi
hajatnya. Sebagaimana hukum timbal balik yang disebut di atas, intinya kita
semua adalah pelayan. Presiden melayani kepentingan bangsa sesuai amanat yang
diembannya. Demikian juga, segenap anggota DPR, MPR, MA, MK, dan semuanya.
Bahkan dalam hidup berkeluarga, semua anggota keluarga adalah saling menjadi
pelayan. Isteri melayani suami, suami melayani isteri. Anak melayani permintaan
orang tua. Orang tua melayani kebutuhan anak-anaknya.
Ciri
Orang Mulia
Adalah wajar apabila kita
ingin mulia. Ukurannya bagaimana? Kriteria mengukur kemuliaan harus
dikembalikan pada hakikat maknanya. Wujud
fisik sulit dijadikan barometer. Misalnya, anggota Lembaga Agung XYZ. Karena dia berdasi
putih atau berjas menarik. Tidak bisa langsung di-justice dia orang mulia. Kalau terjadi dia korupsi. Atau mungkin
dia berselingkuh. Mungkin tidak ada orang tahu. Padahal, yang dia lakukan
adalah kebalikan dari sifat dan pekerjaan mulia. Jadi, ukuran kemuliaan bukan
dari yang terlihat, tetapi dari yang abstrak. Itulah ‘hati’. Orang berbuat
mulia karena dia melakukan starting (baca:
niat)-nya dengan hati yang mulia.
Kedua, orang mulia
senantiasa memberi. Lihat saja, orang yang bermental kebalikan dari suka
memberi. Mentalitas pengemis, adalah suka merendahkan dirinya agar dikasihani.
Padahal, kita diciptakan oleh-Nya dalam dukungan layanan alam yang lengkap.
Kalau orang mulia bisa merasakan karunia Tuhan yang diterimanya. Kemudian
dengan hati yang mulia dia berikan juga kepada sesamanya. Sekali lagi, tidak
harus memberi dengan barang konkret. Senyum, empati, tenaga semua ini tidak
bias diukur dengan uang atau material. Tetapi, orang lebih senang diberi
senyuman daripada dicibir dengan kemurungan.
Kriteria
orang mulia berikutnya adalah bertindak cerdas. Maksudnya adalah memberikan
nilai plus atau faktor lebih pada setiap
tindakan hati dan perbuatannya. Misalnya, kita difitnah sana-sini, padahal
tidak ada sedikitpun fitnah itu yang benar. Maka, orang yang mulia hatinya
menganggap fitnah itu sebagai ujian untuk dirinya agar senantiasa bertindak
dengan hati-hati. Pelayan yang berhati mulia akan mengambil setiap kejadian
sebagai pelajaran dan hikmah. Jadi, buat apa menumpuk segala hal negatif kalau
kita mampu mengambil yang positif. Cerdas kan ?
Kehidupan
dalam segala sektor pasti ada momen memberi dan menerima. Orang yang mulia mau
menerima segala pemberian dengan terbuka. Lain halnya orang yang tidak mulia.
Dia menerima dengan perhitungan. Kalau tidak menyenangkan dia akan menolak.
Kalau menguntungkan dia akan merebut. Kebalikannya, bagi orang yang mulia
hatinya terlihat saat dia menerima pemberian. Kalau ada penerimaan yang tidak
memuaskan, dia akan bersyukur bahwa itulah rezeki Tuhan melalui jalan (atau
makhluk sesamanya). Kalau ada pemberian yang salah, dia akan mengembalikan dan
mengingatkan untuk mengembalikan pada yang benar. Contoh kecil, apabila ada uang
suap diantar pada orang mulia. Maka, yang mulia akan menolak dengan baik dan
mengingatkan kepada kebenaran.
Satu
lagi kriteria orang mulia adalah terpercaya. Dengan hati yang bersih, orang
yang mulia tidak suka mencari kesalahan orang lain. Apapun yang terjadi dalam
kehidupan dia melakukan sepenuh hati. Hal ini didasari oleh rasa percaya pada
sesama yang harus dilayaninya. Tidak ada buruk sangka apalagi menuduh tanpa
dasar. Orang mulia menyadari bahwa hidup adalah memberi manfaat tanpa syarat.
Demikian juga, orang mulia menyadari
dirinya berarti kalau dia memberikan arti bagi kehidupan. Itulah sebabnya orang
mulia tidak bosan mencari dan member arti bagi kehidupan. Itu dipercaya oleh
lingkungannya karena orang mulia konsisten pada kepercayaan dirinya.
Proses
Menjadi Mulia
Menjadi mulia adalah baik.
Tetapi lebih baik lagi kalau kita tidak merisaukan ke-‘mulia’-an ini. Artinya ?
Urusan mulia atau tidak mulia adalah persepsi yang datangnya dari luar diri.
Jadi, mau disebut orang mulia atau orang jahat. Maka, orang mulia tidak akan
goyah oleh pujian. Kenapa bisa begini ? Karena
orang mulia sudah melatih dirinya untuk menghilangkan kesombongan diri.
Sebab mental sombong ini bisa menutup hati untuk menerima kebaikan. Apapun
kebaikan kalau dinilai oleh orang yang sombong pasti diturunkan nilai
kebaikannya.
Kalau
kita ingin mendapatkan kemuliaan, satu lagi proses yang harus dilalui. Kita
harus mau berubah. Apapun promosi dan bujukan yang baik menurut Anda, tidak
mesti baik juga menurut orang lain. Lantas, proses kedua ini juga masih
bersangkutan dengan hati. Tekad dan kemauan untuk berubah layaknya jalan bagi
setiap tujuan. Kalau jalan sudah tidak disediakan, bagaimana mungkin tujuan
bias tercapai. Konsep yang lebih ampuh lagi apabila kita senantiasa bermohon
kekuatan pada-Nya. Dengan hidayah dan petunjuk-Nya, insya Allah kemauan kita
makin kuat untuk meraih kemuliaan.
Berikutnya adalah proses
untuk memilih dan menentukan. Kita mau dalam golongan mulia atau tersesat,
tergantung bagaimana kita membaca ukurannya. Kalau ukuran kemuliaan hanya dunia
atau finansial belaka, maka mereka membaca kemuliaan dengan ukuran itu juga.
Lain halnya apabila kita membaca kemuliaan dengan harga ‘hakiki’ kemuliaan.
Kemuliaan tidak berhenti seumur manusia di dunia saja. Bagi orang yang beriman,
kemuliaan ‘hakiki’ apabila Tuhan juga memuliakan kita kelak di surga-Nya. Jadi,
jangan luput untuk membaca semua perintah dan larangan-Nya. Laksanakan semua
perintah dan jauhi semua larangan-Nya.
Proses selanjutnya cukup
terjal untuk ‘pendakian’ puncak kemuliaan. Dalam kehidupan ini kebaikan dan
keburukan saling bersama. Bahkan kebaikan dan kejahatan saling berlomba
mempengaruhi kehidupan manusia. Kalau kita sudah membaca dan tahu pada jalan
menuju kemuliaan, tetaplah teguh pada keyakinan ini. Jangan goyah oleh aneka
pengaruh yang menyesatkan. Baik pengaruh yang secara nyata datang, maupun
pengaruh yang secara samar mengelabui jalan menuju kemuliaan. Ingat, pengaruh
itu bisa datang dari luar komunitas kita. Bahkan tidak jarang pengaruh yang
datangnya dari dalam diri dan komunitas kita sendiri.
Proses ke puncak kemuliaan
kita lakukan dengan menikmati segala ujian. Perjalanan meraih tujuan layaknya seni
untuk mengatasi setiap halangan yang menghadang. Cobaan, ujian, aral atau
apapun nama sejenisnya adalah alat untuk mengukur kompetensi kita dalam
kehidupan. Jangan biarkan diri kita ditumpangi oleh berbagai masalah dan
cobaan. Kita harus bisa menikmati masalah itu sebagai materi uji yang harus
dijawab dengan benar. Itulah sebabnya
kita tidak perlu gelisah saat menghadapi masalah. Justru dengan ujian itulah
kita bias menikmati arti kehidupan. Nikmat kan
? Jangan dijawab dengan kata. Jawablah dengan hati.
Kesimpulannya, dari awal
hingga akhir. Hakikatnya kita adalah pelayan. Pelayan kehidupan
diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yang mulia dan tersesat. Mudah-mudahan kita
bisa melakukan proses menjadi pelayan yang mulia. Karena pilihan satu lainnya
banyak orang menjawabnya secara lesan dengan kata ‘Tidak Mau”. Padahal untuk
menjadi pelayan yang mulia, cukup ditenamkan di ‘hati’. Sekali lagi, ‘hati’
harus berteriak “Aku mau menjadi pelayan yang mulia”. Pertanyaan lagi, dimana?
Di dunia dan di akhirat. Bersama hidayah dan ridha-Nya. Aamiin.
Fatchur Rochman (Gusphur: nama pena) adalah Pustakawan
Ahli pada Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Jember. Penulis dapat
dihubungi untuk konfirmasi JADWAL SEMINAR ’14 Jurus Masa Depan: Teori Penanaman
Karakter Membaca sejak Masa Janin’, via email : fatchur45@gmail.com atau kontak/sms :
087712986857; 082131818227.